![]() |
Oleh: Ibnu Purwanto Budi Nugroho, M.Fil |
• Pendahuluan
Upaya dalam rangka mengadakan kegiatan pembaharuan Peraturan Bupati Kabupaten Bekasi berkenaan dengan Adiwiyata, sampai sekarang ini belum menunjukkan tindakan nyata yang positif. Peraturan Bupati itu masih dipertahankan sebagai peraturan baku dalam melaksanakan pemberian penghargaan Adiwiyata. Peraturan Bupati Nomor 33 Tahun 2016 merupakan peraturan yang masih berada di dalam ruang lingkup periode peraturan menteri LH fase kedua, tanpa membedakan antara gerakan Adiwiyata dengan penghargaannya yang tertuang dalam periode fase ketiga peraturan Menteri LHK.
Peraturan Bupati Kabupaten Bekasi Nomor 33 Tahun 2016 tentang kegiatan Adiwiyata secara garis besar menjabarkan pokok-pokok keadiwiyataan melalui struktur baku dan masif, dalam kerangka nilai-gunanya untuk keberlangsungan pelaksanaan pemberian penghargaan sesuai dengan tata aturan yang sah. Struktur baku dan masif Peraturan Bupati Nomor 33 terdiri dari 15 (lima belas) Bab yang di dalamnya terkandung 17 (tujuh belas) pasal dengan beberapa pasalnya ada yang dijelaskan dengan ayat-ayat dan ada juga yang tanpa penjelasan ayat. Tampilan Perbup yang sederhana mengurai Bab V (lima) terdiri dari pasal 5 (lima) yang dijelaskan oleh 2 (dua) ayat, Bab IX (sembilan) terdiri dari pasal 10 (sepuluh) dengan penjelasan 2 (dua) ayat, dan Bab X (sepuluh) terdiri dari pasal 11 (sebelas) yang dijelaskan dengan 4 (empat) ayat.
Dalam tulisan terdahulu Penulis yang dimuat pada Warta Lingkungan Hidup Volume 13 Tahun 2022 telah dikemukakan perkara-perkara yang membutuhkan sinkronisasi di dalam Peraturan Bupati Nomor 33, dan juga narasi-narasi berkelanjutan pada Suara Topan tanggal 6 Agustus 2025 yang mengupayakan kesesuaian kedudukan Peraturan tersebut dengan kondisi ruang kerja atau kantor yang menaunginya. Atas perkara-perkara tersebut, perubahan yang sekiranya menjadi tujuan tidak mungkin mengesampingkannya sebagai bagian dari deskripsi yang memberikan masukan penting bagi peraturan tersebut. Deskripsi tersebut merupakan sebuah deskripsi perubahan Perbup.
Deskripsi perubahan Perbup dengan demikian memandang perlunya masalah-masalah lama di dalam peraturan tersebut, disamping mewadahi masukan-masukan baru yang lebih meluaskan kekuatannya dalam rangka pelaksanaan kegiatan Adiwiyata. Oleh karenanya kondisi tersebut berisikan deskripsi-deskripsi yang bisa menjadi landasan dalam melakukan perubahan atas Peraturan Bupati Nomor 33. Deskripsi-deskripsi itu terangkum sebagai deskripsi masukan baru sinkronisasi, dengan pengandaian bahwa sinkronisasi bekerja bukan semata perkara lama tetapi juga menjadi pengarah atas masukan-masukan baru yang sekiranya relevan.
Berlandaskan pada latar belakang yang demikian, perlu dilakukan penelitian atas Peraturan Bupati Kabupaten Bekasi Nomor 33 Tahun 2016 dalam kerangka tersebut di atas, terutama berkaitan dengan masalah masukan-masukan yang memberi pembaharuan terhadapnya. Lima hal penting dalam deskripsi masukan baru sinkronisasi yaitu: perubahan struktur peraturan bupati, kewajiban penerima penghargaan, pengukuhan pemerataan GPBLHS, penilaian yang kontra-produktif, dan anggaran dan kerjasama masyarakat akan dipaparkan di dalam tulisan ini. Tujuannya adalah menegaskan bahwa deskripsi masukan baru sinkronisasi perlu diwadahi secara lebih terstruktur sehingga pengganti pedoman pelaksanaan program Adiwiyata nantinya menyajikan lingkungan hidup bercorak pendidikan yang lebih memenuhi aspek kesadaran hukum lingkungan.
• Deskripsi Perubahan Struktur Peraturan Bupati
Perkembangan program Adiwiyata Kabupaten Bekasi yang terlaksana hingga sekarang ini, bekerja dengan berlandaskan atas Peraturan Bupati Kabupaten Bekasi nomor 33 Tahun 2016. Kedudukan Peraturan Bupati tersebut sampai sekarang ini masih memungkinkan untuk diposisikan sebagai landasan yang sah, terutama berkaitan dengan pelaksanaan program Adiwiyata Kabupaten. Sampai sekarang ini, Peraturan Bupati itu belum tergantikan dengan peraturan terbaru. Peraturan Bupati itu dari tahun ke tahun mengalami banyak kendala prosedural, bahkan itu semakin memuncak di tahun 2019 ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Kementerian terbarunya tentang Adiwiyata.
Peraturan Kementerian LHK tentang Adiwiyata tahun 2019 sejatinya merupakan kerangka acuan bagi seluruh peraturan yang berupaya untuk menegaskan pelaksanaan Adiwiyata dari tingkat Nasional sampai pada tingkat Daerah. Atas hal itu, tahun 2019 merupakan tahun yang meresmikan pencabutan peraturan Adiwiyata sebelum tahun 2019 dengan memberlakukan peraturan Adiwiyata yang baru. Kenyataan itu telah menempatkan peraturan Bupati Kabupaten Bekasi sebagai peraturan yang lama, oleh karena landasan kerjanya yang masih mengacu pada peraturan menteri tentang Adiwiyata sebelum tahun 2019. Pemetaan yang bisa diberikan atas peraturan Bupati Kabupaten Bekasi nomor 33 tahun 2016 tentang Adiwiyata Kabupaten ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Tabel 1 Struktur Peraturan Bupati Lama
Berdasarkan pemetaan di atas, diperlukan adanya koreksi atas posisi dan kedudukan dari tidak seluruh urutan bab yang ada. Koreksi yang benar-benar ditekankan harus melihat pada peraturan Adiwiyata yang telah diterbitkan Kementerian LHK yang paling terbaru. Bahwa peraturan Adiwiyata KLHK itu menekankan dua hal yaitu gerakan dan penghargaan. Oleh karenanya struktur Perbup lama itu bisa sejalan dengan peraturan Adiwiyata KLHK, sehingga ia telah disinkronkan sesuai dengan kebutuhan zamannya.Sinkronisasi Perbup lama bukan hanya diimplementasikan dengan kesesuaiannya terhadap peraturan Adiwiyata KLHK, masih terdapat tindakan lain yang bisa dijadikan masukan terhadap Perbup itu. Tindakan itu selain memusat pada pemberian penghargaan juga mengarah pada penerapan tentang kesadaran hukum lingkungan. Antara penghargaan dan kesadaran hukum lingkungan semestinya terdapat prosedur yang bisa mewakilinya untuk terlihat saling mendukung, seperti dengan adanya sanksi administrasi dan distribusi alokasi anggaran Adiwiyata.
Menimbang perkembangan zaman dan muatan kesadaran hukum lingkungan, Perbup 33 memiliki potensi dalam melakukan transformasi terhadap peraturan Adiwiyatanya. Perbup 33 untuk hal itu melakukan evaluasi terhadap keadaannya yang lama, semisal beberapa bab dari kewajiban sekolah dan keterkaitan OPD. Melalui evaluasi terhadap dirinya, Perbup 33 memiliki posisi dan kedudukan barunya. Transformasi Perbup 33 itu akan memperbaharui pemetaan yang ditunjukkan pada tabel 1, sehingga bentuk transformasi atas peraturan Bupati Kabupaten Bekasi nomor 33 tahun 2016 tentang Adiwiyata Kabupaten ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Tabel 2 Struktur Peraturan Bupati Baru
• Deskripsi Kewajiban Penerima PenghargaanAdiwiyata, dalam perjalanan sejarahnya, tidak atau belum pernah dihubung-hubungkan dengan sanksi administrasi. Adiwiyata lebih terbiasa dengan beban pelaksanaan yang berkaitan dengan kewajiban yang sudah ditentukan secara sah. Peraturan Bupati Nomor 33 Tahun 2016 memberi ruang beban pelaksanaan itu pada bagian kewajiban sekolah, padahal ini punya kaitan erat dengan tugas tim, penilaian SBL, dan pemberian penghargaan SBL. Dengan kondisi yang demikian, kemunculan sanksi administrasi menunjukkan cakupan yang lebih luas atas dokumen adiwiyata. Tidak sekedar kewajiban sekolah, tetapi mengintegrasikannya dengan ketentuan lain yang dikaitkan dengan beban pelaksanaan.
Kewajiban penerima penghargaan sebenarnya tidak tertulis dan menjadi legal di dalam Peraturan Bupati nomor 33 Tahun 2016, ia tidak dideskripsikan di dalam bagian kewajiban sekolah. Akan tetapi dalam kenyataannya setiap penerima penghargaan memiliki data-data dan dokumentasi lengkap berkenaan dengan perkembangan Adiwiyata yang dilaksanakannya. Sebelum menerima penghargaan, dokumen tersebut diperiksa oleh tim penilai untuk diuji kelayakannya sebagai calon penerima Adiwiyata. Setelah menerima penghargaan sudah dipastikan bahwa dokumen yang dimiliki oleh peraih Adiwiyata dalam kondisi yang layak sesuai ketentuan peraturan Adiwiyata, tetapi kelayakan itu tidak menggambarkan lengkap atau tidak lengkapnya kondisi dokumen tersebut.
Keadaan yang tak terdeskripsikan atas dokumen peraih penghargaan itu membuka ragam metode dalam menanganinya. Salah satu metode yang patut diterapkan adalah metode reward dan punishment yang bentuknya dituangkan ke dalam sebuah sanksi administrasi.
Kondisi yang paling dominan bagi dokumen peraih penghargaan Adiwiyata adalah status dokumen yang tertata dengan baik, kebersangkutan ini jelasnya berkaitan dengan dokumen sebagai bagian dari adminstrasi program Adiwiyata. Dokumen yang administrasinya tertata dengan baik tentu akan menerima insentif sesuai dengan kapasitasnya, seperti memperoleh surat pengantar kepesertaan Adiwiyata Provinsi. Akan tetapi keadaan administrasi yang sebaliknya akan menghasilkan penerimaan yang bukan insentif melainkan sanksi administrasi.
Gambar 1 Diagram Alur Penapisan Pertama Administrasi Adiwiyata
Sanksi administrasi dalam perihal penghargaan Adiwiyata bekerja dalam dua penapisan, yaitu berkenaan dengan kondisi dokumen dan keberlanjutan status peserta. Dalam kerangka penapisan pertama, kondisi dokumen menjadi perkara yang tegas dalam menentukan status Sekolah Adiwiyata di ranah administrasi berupa dokumen Adiwiyata. Status administrasi itu dibuktikan dengan tingkat kemampuan Sekolah Adiwiyata dalam memenuhi kewajibannya, yaitu untuk menyusun dokumen Adiwiyata sesuai dengan capaian nilai yang sudah diraihnya sehingga menerima penghargaan Adiwiyata Kabupaten. Kondisi status administrasi itu akan dievaluasi dalam dua kategori antara administrasi yang lengkap dan administrasi yang tidak lengkap. Evaluasi kategorial itu akan membedakan antara Sekolah Adiwiyata yang terkena sanksi dengan Sekolah Adiwiyata yang tidak terkena sanksi, gambaran mengenai hal ini dapat dilihat pada gambar diagram alur di atas.
Sanksi administrasi dalam penapisan pertama masih membuka kemungkinan bagi Sekolah Adiwiyata untuk melakukan perbaikan, sehingga mereka meraih status dokumen administrasi yang lengkap. Melewati penapisan pertama, Sekolah Adiwiyata akan melanjutkan proses administrasinya menuju penapisan kedua yang berkenaan dengan keberlanjutan status peserta. Sekolah Adiwiyata di dalam penapisan kedua didorong untuk mengikuti penghargaan Adiwiyata di tingkat yang lebih tinggi, yaitu Adiwiyata Provinsi atau raksaprasada. Optimisisme Sekolah Adiwiyata untuk melewati penapisan kedua ini sudah didukung dengan dokumen Adiwiyata yang statusnya relevan dengan kondisi penilaian untuk tingkat Provinsi, sehingga pengambilan keputusan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan kepesertaannya menjadi hak dari Sekolah Adiwiyata itu sendiri. Namun konsekuensi yang muncul atas penggunaan hak Sekolah Adiwiyata yang bertentangan dengan kehendak dan kebutuhan Dinas pemangku Adiwiyata menjadi kondisi dijatuhkannya sanksi administrasi. Konsekuensi sampai terjadinya sanksi administrasi itu dijelaskan pada gambar diagram alur berikut ini.
Gambar 2 Diagram Alur Penapisan Kedua Sekolah Adiwiyata
• Deskripsi Pengukuhan Pemerataan GPBLHS
Pemerataan program yang dalam hal ini adalah gerakan PBLHS perlu memandang banyak aspek yang ada dalam wilayah kabupaten. Keberagaman aspek itu tidak membutuhkan sudut pandang yang rumit dalam mengaplikasikannya menjadi bagian dari program Adiwiyata. Hal paling mendasar dari pemerataan adalah pengukuhan terhadap keberadaannya yang benar-benar diperlukan. Pengukuhan itu dalam pertimbanganya tidak bisa mengesampingkan tugas-tugas kedinasan yang perlu dikelola menjadi suatu kesepakatan. Salah satu yang paling mungkin dari kesepakatan atas pengukuhan pemerataan gerakan PBLHS adalah disampaikannya pandangan dari Kepala Daerah. Pengukuhan itu oleh karenanya berupa penyampaian pidato Bupati yang sudah terkoordinasi dalam suatu kegiatan.
Pengukuhan pemerataan secara ideal diselenggarakan dalam suatu reherseal yang terbuka di tengah-tengah publik. Penyelenggaraan itu tentu terjadi setelah adanya kesepakatan untuk mewujudkan pemerataan dalam bentuk pengukuhan. Adiwiyata sejatinya bukan semata milik salah satu dinas melainkan milik dinas-dinas yang relevan untuk ikut serta mengelolanya, tetapi menyederhanakan gerak yang lebih efektif nyatanya membutuhkan keutuhan gerak yang konsentris. Oleh karenanya Adiwiyata membutuhkan pengakuan dari adanya satu dinas yang bisa mengelolanya secara terpusat, melaksanakan kegiatannya sekaligus mempertanggungjawabkannya. Adanya dinas pemangku Adiwiyata tentu akan lebih mewujudkan keberhasilan dalam kegiatan pemerataan gerakan PBLHS berupa pengukuhan yang disampaikan dalam pidato Bupati sebagai Kepala Daerah.
Keberadaan Dinas Pemangku Adiwiyata semestinya tidak menjadikan kegiatan pengukuhan pemerataan semata dominasinya saja, unsur-unsur kedinasan lain yang bekerjasama dalam program Adiwiyata harus juga diberikan porsinya dalam kegiatan tersebut. Unsur-unsur kedinasan dan lainnya yang selalu kerja beriringan di antaranya adalah dinas pendidikan, Kementerian Agama Kabupaten, dan HPAI. Dengan mengakui kekuatan unsur selain unsur utama dinas pemangku Adiwiyata (lihat gambar), pengukuhan pemerataan program Adiwiyata yang berisi Pidato Bupati harus memperoleh persetujuan dan kesepakatan bersama berkenaan dengan kegiatan pengukuhan pemerataan tersebut, terutama berkenaan dengan isi pidato dan protokol kedinasannya.
Gambar 3 Unsur-Unsur Kedinasan untuk Pengukuhan Pemerataan Adiwiyata
Kepala Daerah merupakan faktor terpenting di dalam Program Adiwiyata, bukan karena ia menjadi orang yang selalu ada di dalam setiap surat keputusan yang dibuat untuk berjalannya Adiwiyata. Kenyataannya Program Adiwiyata telah menguatkan keberadaan pemberian penghargaannya kepada Kepala Daerah yang dianggap mewakili. Dengan mengacu dan berpegang pada kenyataan itulah, diperlukan tambahan kegiatan Kepala Daerah yang berkaitan dengan Adiwiyata. Salah satu kegiatan yang mendukung hal itu adalah pengukuhan pemerataan Program Adiwiyata, yang adanya bukan sekedar pembuatan Surat Keputusan yang ditandatanganinya tetapi mengorasikannya di tengah-tengah publik berkaitan dengan Program Adiwiyata. Dengan orasinya ini Kepala Daerah membuka Adiwiyata untuk semakin membudaya sebagai sebuah gerakan yang membutuhkan partisipasi, kesukarelaan, dan jejaring yang kuat.
Untuk kegiatan orasi kebudayaan yang benar-benar bukan sekedar penandatanganan surat-surat kedinasan berupa Surat keputusan, dibutuhkan dukungan protokol kedinasan yang sesuai dengan tujuan dari orasi tersebut. Dinas pemangku Adiwiyata tentu menjadi pilar utama dalam kaitan dengan orasi kebudayaan, dengan kemungkinan yang besar untuk adanya koordinasi bersama unsur-unsur kedinasan lainnya agar orasi itu terselenggara dengan baik. Protokol kedinasan akan menentukan waktu yang tepat dalam membacakan orasi tersebut, semisal hari pohon sedunia atau hari satwa sedunia, dan juga tempat yang representatif seperti lapangan terbuka di salah satu kecamatan, alun-alun kabupaten, gedung bersejarah ataupun juga stadion olahraga.
• Deskripsi Penilaian yang Kontra-Produktif
Indikasi kejenuhan dan kekecewaan yang mendasari kebutuhan adanya program tanggap akumulasi merupakan cara-cara identifikasi masalah yang penting, sehingga bisa diselesaikan dengan cara-cara yang mekanistik dan prosedural. Masalah yang teridentifikasi harus dikembangkan sampai pada dikeluarkannya cara-cara penuntasannya. Secara sederhana program tanggap akumulasi dapat dituntaskan dengan mengevaluasi program Adiwiyata yang berjalan, terutama pada ranah penilaian untuk mengalokasikan output penilaian dalam batasan antara dua periode atau tiga periode yang tidak memilih pada batasan lebih dari keduanya.
Batasan periode output penilaian yang ditujukan kepada Calon Sekolah Adiwiyata akan merepresentasikan penilaian Adiwiyata yang produktif. Kondisi penilaian produktif mempunyai syarat yang ruang lingkupnya cenderung mengacu kepada pengelola administrasi yang telah mengumpulkan data periode kepesertaan Adiwiyata. Dalam pengelolaan administrasi itu telah dimasukkan juga hasil penilaian yang diraih oleh peserta Adiwiyata sebagai Calon Sekolah Adiwiyata. Jika capaian periode Adiwiyata merupakan sebuah fungsi X, maka syarat periodisitas yang menunjukkan penilaian yang produktif harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.
Capaian kondisi penilaian produktif, dengan syarat periodisitas di atas, punya pengaruh terhadap status penilaian yang dihasilkan oleh tim penilai. Komponen-komponen yang menjadi objek penilaian akan lebih menunjukkan pentingnya integritas antara kondisi lapangan yang dibentuk melalui gerakan dengan dokumen administrasi yang dikelola. Status penilaian ini merupakan status penilaian real, yang representasinya bisa diketahui melalui peserta Adiwiyata dan penilainya. Lebih menarik dari itu, penilaian real bagi tim penilai akan menunjukkan bahwa proses integritasnya telah mencapai tahap rekonsiliasi yang menjawab kerumitan antara yang kuantitas dengan yang kualitas dalam pekerjaan gerakan PBLHS. Deskripsi mengenai penilaian Adiwiyata yang produktif dan real dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.
Gambar 4 Periode Kepesertaan yang Menunjukkan Penilaian Produktif-Real dan Kontra-Produktif-Tidak Real
Kondisi output penilaian dalam batasan periode ternyata merepresentasikan hal yang sebaliknya dari penilaian Adiwiyata yang produktif sebagai penilaian kontra-produktif. Pengumpulan data di atas meja pengelola administrasi cenderung dipenuhi oleh sekolah yang telah menjadi peserta Adiwiyata dalam kurun lebih dari dua periode, sementara dalam kurun tersebut mereka belum berhasil meraih predikat sebagai sekolah Adiwiyata. Ilustrasi yang menggambarkan hal ini bisa dilihat pada gambar periode kepesertaan di atas, bahwa SDN Telaga Asih 01 sudah menjadi peserta Adiwiyata dalam kurun dua periode dan tahun berikutnya sekolah ini akan memasuki periode ketiganya. Seiring dengan kondisi itu, SMPN 1 Cikarang Barat ternyata menjadi peserta Adiwiyata bersamaan dengan SDN Telaga Asih 01 dengan akumulasi kepesertaan selama delapan periode. Dalam kondisi yang demikian pengelola administrasi perlu menyusun kerangka kebijakan tersendiri untuk mengentaskan masalah periodisitas tersebut, tidak mempengaruhi kerja penilaian tetapi tanggap terhadap akumulasi itu atau bahkan bisa diintegrasikan di dalam pengukuhan pemerataan gerakan PBLHS. Kondisi itu adalah periode capaian Adiwiyata yang diwakilkan dengan sebuah fungsi X, maka syarat periodisitas yang menunjukkan penilaian yang kontra-produktif itu akan memenuhi persyaratan sebagai berikut
Status penilaian kontra-produktif tersebut akan semakin menyudutkan posisi peserta Adiwiyata, bahwa capaian tiga periode tidak juga menjadikan sekolah itu potensial dalam menerima predikat Adiwiyata. Komponen-komponen Adiwiyata yang digerakkannya lebih menumbuhkan keraguan dan ketidakpastian, bahkan dinilai kurang menunjukkan integritasnya. Status penilaian dengan periode capaian yang bersyarat demikian bisa dikatakan sebagai penilaian yang tidak real, dengan alasan yang benar-benar penuh stigma dan apriori. Namun kebijakan pengelola administrasi dibutuhkan untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan program penguat yang bisa mengurai masalah periodisitas akumulatif itu yang berkemungkinan berpengaruh terhadap pengukuhan pemerataan Adiwiyata.
• Deskripsi Anggaran dan Kerjasama Masyarakat
Sepanjang pelaksanaan program Adiwiyata, anggaran yang tertuang di dalam peraturan sejatinya diutamakan di dalam pemberian penghargaan terhadap penerimanya. Peraturan Bupati nomor 33 dengan jelas menyatakan bahwa anggaran untuk pelaksanaan program Adiwiyata berasal dari APBN, APBD, serta sumber lainnya. Sementara dalam pekerjaannya anggaran untuk Adiwiyata Kabupaten hanya berasal dari APBD semata, padahal terdapat sumber-sumber potensial yang bisa dimanfaatkan sebagai anggaran seperti kejadian atau peristiwa wanprestasi perusahaan. Sumber-sumber potensial itu bukan hanya memberi tambahan anggaran tetapi juga perluasan sosialisasi tentang kesadaran hukum lingkungan.
Sumber-sumber potensial anggaran sebenarnya tidak berada di dalam ranah seluruh dinas-dinas yang menjadi bagian di dalam kesepakatan untuk pelaksanaan program Adiwiyata. Sumber-sumber potensial itu hanya ada di dalam ranah dinas pemangku Adiwiyata, sehingga dalam pemanfaatannya sebagai anggaran membutuhkan koordinasi internal dinas tersebut. Dengan sumber-sumber potensial itu, kesadaran hukum lingkungan tidak semata dikenal melalui pendidikan lingkungan hidup tapi meluas dan integral dalam ranah yang lebih riil di dalam dunia industri. Kesadaran hukum lingkungan yang integral itu menjadi kebutuhan bagi tim penilai dan peserta Adiwiyata, untuk memantau situasi lingkungan hidup di luar sekolah selain berkaitan dengan tingkat pencemaran juga berkenaan dengan hubungan timbal balik kerjasama dalam rangka penguatan program Adiwiyata berbentuk gerakan PBLHS.
Salah satu bentuk punishment dari wanprestasi perusahaan dapat dilakukan dengan mengacu pada perkembangan kehidupan manusia secara umum yang telah melewati bencana pandemik COVID-19. Dalam peristiwa itu tidak sedikit masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap tata tertib yang harus dilaksanakannya, terutama berkenaan dengan penggunaan masker untuk mencegah penyebaran virus mematikan itu. Atas pelanggaran itu diterapkan sanksi sosial sebagai bentuk dari kerja sosial. Dengan mengadopsi perkembangan itu, perusahaan yang distatuskan ke dalam kerja sosial karena pelanggarannya terhadap ketentuan di dalam hukum lingkungan dapat disalurkan tenaganya ke sekolah-sekolah untuk mendukung gerakan PBLHS.
Tradisi lain yang berkembang dalam hal wanprestasi ada dalam kerangka oknum wajib pajak yang status perpajakannya kronis, yaitu mereka sudah sedemikian lama tidak melaksanakan kewajibannya sebagai wajib pajak. Status perpajakan yang kronis itu dikelola dalam program pemutihan bagi para wajib pajak untuk terpanggil kembali dalam melaksanakan kewajibannya. Penerapan hukum lingkungan dalam rangka mendukung kesadarannya perlu mengkategorikan perusahaan berstatus pemutihan itu, sehingga alokasi dari status tersebut bisa disalurkan sebagai bagian dari sumber-sumber potensial anggaran. Alokasi itu bisa dijadikan sebagai bagian pendukung gerakan PBLHS yang akan, sedang, atau telah bagi sekolah-sekolah meraih status Adiwiyata. Contoh bentuk pengalokasian pemutihan tersebut dideskripsikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 3 Teladan Pemutihan Kewajiban Perusahaan
Tradisi berikutnya dengan kemungkinan peristiwa yang kecil namun kejadiannya punya pengaruh kuat bagi kesadaran hukum lingkungan dinyatakan di dalam pasal-pasal sanksi pidana Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peristiwa ceroboh yang dilakukan oknum di dalam perusahaan biasanya dievaluasi secara ketat melalui pengadilan atau luar pengadilan dengan hasil berupa deviden bagi Dinas terkait. Besaran deviden itu bisa dialokasikan dinas terkait sebagai sumber-sumber potensial anggaran untuk mengembangkan gerakan PBLHS di wilayah Kabupaten. Mekanisme pengalokasian deviden itu merupakan kebijakan dinas terkait, tetapi dimungkinkan untuk dikategorikan sejumlah satu persen deviden yang masuk dari peristiwa kecerobohan oknum atas pasal-pasal pidana dari pasal 98 sampai pasal 115.
• Penutup
Struktur baku dan masif Perbup Kabupaten Bekasi 33 Tahun 2016 kondisinya sudah tidak relevan dengan peraturan Adiwiyata yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kondisi yang demikian akhirnya membutuhkan upaya yang deskriptif untuk menguraikan permasalahan-permasalahan yang bermunculan sebagai akibat yang tak terhindarkan. Dalam rangka mengatasi akibat tersebut, perubahan struktur peraturan Bupati adalah sebuah keharusan yang dengan demikian akan melahirkan Perbup dengan nomenklatur baru. Perubahan struktur sebagai hasil evaluasi adanya Perbup 33 Tahun 2016 dalam kaitannya dengan perkembangan program Adiwiyata sekarang ini.
Struktur Perbup tentang Adiwiyata pada dasarnya mempertemukan kekuatan-kekuatan subjek yang membentuknya. Kekuatan-kekuatan itu muncul melalui sekolah penerima penghargaan, kepala daerah, penilai, dan masyarakat. Masing-masing subjek tersebut menyimpan energinya untuk keberlanjutan program Adiwiyata. Mereka mendukung gerakan PBLHS dengan kewajibannya setelah meraih Adiwiyata, kondisi meratanya gerakan PBLHS, menyadari kondisi penilaian, dan pembiayaan daerah ataupun tanggung jawab sosial. Dengan memahami hadirnya kekuatan-kekuatan inilah diharapkan tersusun Perbup baru yang lebih baik dan komprehensif. (*).